Oleh; Abun Fajar Priyatno
Kebijakan pemerintah adalah suatu
keputusan yang dibuat secara sistematik oleh pemerintah, untuk maksud dan tujuan
khusus yang menyangkut
kepentingan umum. Namun, memang, tak dapat dipungkiri, bila hal
tersebut rentan atau berpotensi pula menjadi celah untuk pasukan “bala kurawa” mengeruk APBD, dengan cara bekerja sama dengan pihak
pemerintah agar proyek pembangunan dimonopoli salah satu perusahaan.
Dan,
tentu saja, hakekatnya itu sangat bertentangan dengan Perpres No. 04 tahun 2015, yang mengatur tata cara lelang proyek.
Bahkan, dapat dikatakan, dalam desain itu sebenarnya mengandung makna penting, yakni dimana salah satu aturan di dalamnya bertujuan untuk mengantisipasi berbagai
bentuk setoran.
PAPA MINTA PROYEK
Hari-hari
ini muncul istilah “Papa Minta Proyek”. Ketua DPRD
Kota Cirebon diduga
mengondisikan proyek senilai Rp1 miliar yang bersumber dari APBD Perubahan 2015
Jawa Barat. Proyek tersebut terdiri dari lima paket yang masing-masing bernilai
Rp200 juta. Semuanya
merupakan proyek pembangunan fisik berupa perbaikan saluran hingga pengaspalan
jalan. Persoalan itu
mengemuka saat politisi PPP Kota Cirebon Nurhaedi bersama beberapa orang
rekanan mendatangi Dinas Pekerjaan Umum Perumahan Energi dan Sumber Daya
Mineral (DPUPESDM) untuk membuat Surat Perjanjian Kontrak (SPK) atas lima paket
proyek itu (Rakyat Cirebon,
25/5).
Bila
ini benar, maka syahdan sangat memprihatinkan. Inilah indikasi yang menegaskan
ihwal masalah yang seolah-seolah tiada hentinya mendera. Kita sudah jamak
mengetahui, fenomena elit politik minta proyek sesungguhnya memang sudah menjadi rahasia atau
fenomena selama ini. Inilah sindrom yang menjangkiti pemerintah pusat dan daerah.
Bahkan, selama ini
juga telah muncul
istilah “para
pemburu rente”
dan “elit politik makelar proyek”, yang mana pergerakan atau aksinya jauh lebih
dahsyat.
Tapi
apapun namanya, yang pasti, kita sudah melihat dan merasakan dampak buruk dari perilaku
mereka semua, yakni berimbas
pada tidak adanya kejelasan terkait waktu, anggaran, dan dimensi
pembangunan. Maka, pembangunan
jadi dikerjakan
secara asal-asalan. APBD
dan penyerapannya tanpa
memiliki kualitas serta rawan masuk kantong pribadi semata.
Ini jelas tidak bisa
didiamkan.
Permainan
yang terjadi di antara para aktor elite bukanlah karena memperjuangkan
kepentingan publik. Akan tetapi, publik (masyarakat, LSM, media massa)
dikondisikan sedemikan rupa untuk tidak terlibat, sehingga akses dalam
mempengaruhi keputusan para elite aktor kebijakan pemerintahan di-setting agar
tidak terjadi. Selama kondisi seperti inilah, korupsi di DPRD masih akan tetap
tumbuh subur. Tegas bahwa permainan anggaran RAPBD dengan "fee
transaksi" yang dilakukan oleh para aktor elite politik daerah menjadi
pintu utama maraknya tindakan korupsi yang terjadi rumah para wakil rakyat
daerah (Fajar
Sidik, 2014) .
SEGERA CEPAT BERSIKAP
Padahal
sejatinya banyak warga
berharap setiap pembangunan dilakukan secara terpadu dan profesional berbasis Perpres No. 04 tahun 2015, dan tidak ada peminta,
makelar
proyek,
serta pemburu rente di
dalamnya. Sekiranya
warga sangat menyambut
baik dan senang dengan adanya pembangunan dan
upaya-upaya penegakan kesejahteraan.
Pemerintah daerah
dan DPRD seharusnya
sadar akan polemik “papa minta proyek”. Pemerintah daerah dan DPRD harus cepat
mengambil sikap dalam permasalahan ini agar tidak menimbulkan
ekses negatif yang paling parah, seperti runtuhnya citra para elit serta terganggunya
keharmonisan antara
pemerintah, DPRD, dan warga.
Kepala daerah tentu
bukanlah manusia super. Ia tidak harus pandai dalam segala hal, tidak mesti muncul
pada tiap aktivitas pembangunan, juga tidak harus mengawasi segala kegiatan
aparatnya. Namun tak dapat ditawar, ia harus memiliki komitmen kuat untuk
menjamin seluruh proses manajemen pembangunan daerah dikendalikan dan
dilaksanakannya secara utuh, baik dan sesuai dengan rencana yang dibuatnya.
Untuk sampai ke target
itu, manajemen pembangunan daerah harus dikelola dengan manajemen mondial, yang
menggabungkan aspek kepemimpinan struktural dan kepemimpinan partisipatif.
Dengan demikian segala aktivitas pembangunan akan terbingkai dalam partisipasi
publik yang sinergis dengan dinamika politik kedaerahan (Gunawan
Setiyaji, 2014).
Akhirnya, membangun
Indonesia memang mesti dari daerah. Dan untuk itu pastinya amat sangat
dibutuhkan political wil yang mulia nan
sempurna dalam rangka mendorong dan melaksanakan pembangunan daerah. (*)
*) Penulis adalah mahasiswa Fakultas Kelautan dan Ilmu Perikanan Universitas
17 Agustus 1945 (Untag) Cirebon; Aktivis Forum Diskusi Mahasiswa Untag Cirebon.