"Apa guna kita memiliki sekian ratus SARJANA yang cerdas, tetapi massa rakyat dibiarkan bodoh?? Segeralah kaum sarjana pasti akan menjadi penjajah rakyat dengan modal kepintarannya “ ( Y.B Mangunwijaya )"
PENDAHULUAN
Mahasiswa adalah kelompok pemuda yang diuntungkan oleh
kondisi ekonomi dimana mereka dapat menikmati pendidikan tinggi di universitas.
Tak bias dipungkiri lagi bahwa sampai saat ini, status mahasiswa yang disandang
masih menjadi status yang sangat mewah (luxurious) dilingkungan
sosialnya(masyarakat), karena hanya status ini hanya mampu dinikmati oleh
segelintir dari kelas menengah ke atas. Dan memang sangat sulit sekali bagi
masyarakat kelas bawah untuk bisa menikmati bangku perkuliahan.
Secara terminologis, mahasiswa berasal dari kata “maha” yang
berarti tinggi, luas, dan “siswa” adalah pelajar, kaum terdidik. Jadi Mahasiswa
adalah kaum terdidik atau kaum intelektual yang memiliki pengetahuan atau
wawasan yang sangat luas. Dari intelektualitas itulah, mahasiswa dianggap
mengerti segala sesuatu atau fenomena yang terjadi disekelilingnya
(ekonomi,politik,social,budaya dll) serta mampu memberikan solusi-solusi
terhadap problematika yang muncul ditengah-tengah masyarakat. Arief Budiman
dalam bukunya “mahasiswa menggugat” mengatakan “ mahasiswa adalah agent of
social change (agen perubahan social) dan Director of change (pengaruh
perubahan) yang berpihak pada kebenaran dan keadilan social serta menjunjung
tinggi nilai-nilai moral.
Untuk memahami existensi mahasiswa yang notabenenya adalah
kaum intelektual yang membawa obor pencerahan dan perubahan bagi masyarakat
seperti apa yang dideskribsikan di atas,maka tentunya mahasiswa dituntut
memiliki paradigma (cara pandang yang menjadi landasan berfikir). Paradigma
inilah yang akan mengantarkan mahasiswa pada nilai aksiologisnya (orientasi
sikap). Jika paradigmanya adalah individualime, maka orietasinya adalah liberal
dan hanya akan mengejar karir pribadinya, apapun yang terjadi, yang penting ia
sukses secara pribadi. Jika paradigmanya adalah sosialisme, maka orientasinya
adalah kepentingan social-masyarakat, segala upaya yang ia lakukan adalah
semata untuk kesejahteraan dan pembebasan masyarakat.
Disinilah arti penting untuk memahami paradigama social
mahasiswa. Karena hanya dengan paradigma social, mahasiwa akan mampu mengemban
tugas atau mengabdi pada masyarakat, sebagaimana yang tertera dalam Tridarma
Pendidikan (pendidikan pengajaran, penelitian, pengabdian pada masyarakat).
Untuk itu dalam paradigma social mahasiwa, dibutukan watak kritis (peka
terhadap realitas social), ilmiah, progressif dan revolusioner. Dengan sikap
tersebut, maka mahasiswa akan memiliki idealisme, sebuah kerangka teori
berfikir yang menjadi landasan untuk bertindak dan bergerak menuju perubahan
social yang sesungguhnya : bebas secara politik, sejahtera secara ekonomi, adil
secara hokum dan partisipatif secara budaya.
MEMBONGKAR MITOS-MITOS MAHASISWA
Sebagaimana kita ketahui bahwa pendidikan adalah sub-sistem
dari ideology dominant, yakni kapitalisme (liberalisme), sehingga pendidikan
itu sendiri dijadikan media transformasi untuk melegitimasi (melanggengkan)
nilai-nilai kapitalistik. Perguruan tinggi adalah lembaga pendidikan yang
paling tepat sebagai sasaran untuk mencetak robot-robot perusahaan (buruh
terampil dan professional) yang akan membawa keuntungan melimpah bagi para
pemodal (kapitalis). Untuk itu, mahasiswa diharuskan mengutamakan
profesionalisme dalam disiplin ilmunya, tapi tidak sama sekali dikasih kesempatan
untuk mengkritisi sebuah system pendidikan, masyarakatnya maupun negaranya yang
semakin bobrok ini. Kondisi obyektif kampus inilah yang mengakibatkan mahasiswa
semakin tercerabut dari akar sosialnya, sikap acuh tak acuh terhadap
persoalan-persoalan dimasyarakat (bagaikan kacang lupa kulitnya). Sehingga
mahasiswa tidak mau tahu menahu bagaimana para buruh dieksploitasi dengan
system buruh kontrak dan outsourching?, bagaimana nasib para petani yang
dirampas tanahnya?, bagaimana para PKL yang digusur karena dianggap telah
mengganggu ketertiban umum?, bagaimana masa depan anak jalanan dan kaum miskin
kota yang merintih di kolong-kolong jembatan?? Dan bagaimana rakyat-rakyat
tertindas lainnya??
Akibat dari kondisi oyektif kampus yang tak pernah
mengajarkan demokratisasi dan malah mendoktrin nilai-nilai
monopoli-liberalisme, disamping juga adanya komersialisasi pendidikan (mahalnya
pendidikan ), serta kondisi subyektif mahasiswa yang notabenenya adalah kelas
borjuasi kecil, mengakibatkan mahasiswa memiliki watak-watak borjuis yang
kontra produktif dan kontra-revolusioner (tidak memiliki kesadaran kritis dan
keperpihakan terhadap rakyat tertindas). Watak-watak yang menjadi mitos
mahasiswa yang harus kita hancurkan tersebut adalah :
- Apatis dan pragmatis : adalah sikap tidak mau tahu atau peduli (apriori) terhadap realitas social dan cenderung membiarkan hal tersebut berjalan apa adanya tanpa harus dirubah. Sikap mahasiswa semacam ini dapat kita indikasikan, misalkan ketika mahasiswa tidak mau peduli kondisi kampusnya yang tak pernah melibatkan dirinya sebagai bagian dari civitas akademika yang harus ikut dalam menetukan beberapa kebijakan kampus (misalnya :memilih rector dan dekan, biaya lab,dll), belum lagi penyelewengan-penyelewengan yang lainnya seperti ; tranparansi dana, tidak lengkapnya fasilitas kampus, intimidasi nilai bagi yang kritis dll. Ternyata system dan isu-isu kampus yang hanya menjadikan mahasiswa hanya sebagai komoditas (object pendidikan) selama ini tidak banyak direspon dan cenderung dibiarkan, yang penting ia bias lulus cepat dengan nilai yang memuaskan. Realitas social yang paling dekat dengan dirinya saja (kampus), mahasiswa bersikap apatis dan pragmatis, apalagi persoalan dimasyarakat dan negara.
- Borjuis dan hedonis adalah sikap yang suka berfoya-foya, suka menghamburkan uang hanya untuk kenikmatan dirinya dan kelompoknya (elitis) terhadap teman, lingkungan dan orang lain. Mahasiswa semacam ini dapat kita lihat dalam tiap kampus misalnya; mahasiswa yang suka ke club, diskotek dan lain sebagainya. Artinya sikap mahasiswa diatas hanya mencari kenikmatan dan kesenangan belaka
- Apolitis dan individualis adalah sikap mahasiswa yang tidak mau tau tentang perpolitikan yang ada pada lingkungannya maupun Negara-nya dan tidak mempunyai rasa solidaritas terhadap teman-temannya ketika berjuang untuk kepentingan rakyat maupun di lingkungan kampusnya sendiri. Artinya mahasiswa seperti ini tidaklah peka terhadap kondisi social, ekonomi, politik dan beberapa hal lainnya yang berkaitan dengan kelangsungan dalam sebuah Negara, bahkan cenderung berjuang untuk kepentingannya sendiri.
- Oportunis adalah sikap mahasiswa yang hanya memanfaatkan kesempatan, kondisi dan situasi tertentu untuk kepentingan dirinya tanpa adanya usaha dan dasar yang dimilikinya. Hal ini sering kali kita pahami ktika seseorang akan menjadikan sebagai situasi tertentu untuk menjadikan dia terkenal ataupun jabatan yang ingin di capainya.
PERAN DAN POSISI MAHASISWA DALAM PERUBAHAN SOSIAL
Jas merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah, adalah
kata-kata yang pernah dilontarkan oleh sukarno. Karena sejarah adalah
pengalaman, sedangkan pengalaman adalah guru yang terbaik. Dari sejarah bisa
kita pelajari baik dan buruknya masa silam, agar kita dapat menentukan arah dan
langkah untuk perubahan kedepan yang lebih baik, salah satunya sejarah telah
membuktikan, bahwa pemuda (mahasiswa) memiliki peranan yang sangat penting
dalam perjalanan perubahan sosial politik bangsa ini.
Dalam setiap momentum perjuangan yang menentukan arah bangsa
kita selalu melihat kaum muda (mahasiswa) selalu hadir sebagai pendorong
sekaligus pelaku dalam perubahan tersebut walaupun kadarnya tidak selalu sama.
Setidaknya sksenario resmi dari pemerintah Indonesia yang masih menjadi pakem
hingga saat ini, mencatat sejumlah lakon yang diaktori mahasiswa, sebutlah
pendirian Boedi Oetomo 1908, yang dianggap sebagai pelopor kebangkitan
nasional, kongres pemuda II 1928 yang menelorkan sumpah pemuda, proklamasi
kemerdekaan 1945, penggulingan Soekarno 1966, dan juga penggulingan kekuasaan
otoriterian Soeharto pada tahun 1998 lalu. Semua lakon sejarah tersebut selalu
mengambil mahasiswa sebagai aktor utama.
Mahasiswa sebagai kelas intelektual dengan segala
nilai-nilai akademis yang ada dalam perguruan tinggi, tak dapat dipungkiri lagi
bahwa sampai saat ini status mahasiswa masih menjadi status yang “mewah” dimata
rakayat Indonesia, karena hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang dari kelas
menengah keatas. Dan sangat sulit sekali masyarakat kelas bawah untuk bisa
menikmati bangku perkuliahan. Ketika ditanya “kenapa itu terjadi”?pasti jawaban
klasik inilah yang muncul : Biaya Kuliah Sangat Mahal Sedangkan Untuk Makan
Saja Kami Pas-Pasan. Kebebasan akademis dikampus telah memberikan ruang
kesempatan bagi mahasiswa untuk mengembangkan pola pikir melalui berbagai macam
sarana, buku-buku, teori-teori yang diperoleh dari ruang perkuliahan, akses
informasi seperti internet ditambah pola pikir yang terbentuk menjadikan
mahasiswa mampu merasakan, melihat, mengamati dan membedah setiap perkembangan
realita yang terjadi di sekelilingnya.
Di Negara yang kondisi masyarakatnya masih terbelakang
secara ekonomi, politik, dan terbelakang dalam pendidikan seperti Indonesia,
maka kelas mahasiswa dilihat sebagai kelas yang “WAH” oleh sebagian besar rakyat
Indonesia. “Wah” dalam artian ekonomi karena cuma orang yang berduit banyak
yang bisa kuliah. Atau meminjam istilah Paulo Freire bahwa mahasiswa sudah
mencapai kesadaran kritis. Sebagaimana kita ketahui bahwa Paulo Freire membagi
tahapan kesadaran menjadi 3 yaitu : Kesadaran Magis (magical consciousness),
kesadaran naïf (naival consciousness), dan kesadaran kritis (critical
consciousness).
Dapat diuraikan bahwa kesadaran magis ialah saat rakyat
tidak mampu melihat kaitan satu faktor dengan faktor lainnya. Dan mereka hanya
melihat faktor diluar manusia (natural maupun supranatural). Dalam melihat
kemiskinan maka kecenderungan mereka akan mengatakan bahwa ini adalah takdir
atau sudah diatur sama yang mengecat lombok. Maka cara mengatasi ini hanyalah pasrah
dan do’a saja. Kesadaran naïf ini lebih melihat aspek manusia sendiri yang jadi
akar permasalahan, maka dalam melihat kemiskinan itu disebabkan oleh manusia
itu sendiri seperti malas bekerja, bodoh, tidak mempunyai skill. Oleh karena
itu untuk mengatasinya adalah enggan “Man Power Development”. Kesadaran kritis
adalah melihat system dan struktur yang ada disekitar kita sebagai sumber
masalah. Pendekatan ini menghindari “blaming the victims”.
Maka yang dilakukan mahasiswa sebagai kelas yang mencapai
tahapan kesadaran kritis adalah melakukan kerja-kerja penyadaran
(concretization) kepada semua orang terutama rakyat Indonesia yang saat ini
masih berkubang pada tahap kesadaran magis dan naïf. Membumi dengan rakyat
adalah mutlak dilakukan mahasiswa dengan suka rela. Kondisi objektif saat ini
Indonesia masih membutuhkan banyak intelektual organic (meminjam istilah A.
Gramsci) yang berani melakukan bunuh diri kelas demi penguatan rakyat. Hal ini
mungkin terasa bodoh dan lucu sekali ( saya yakin ini ada pada perasaan
mahasiswa saat ini).
Kondisi objektif saat ini, bangsa Indonesia berada dalam
sosial yang penuh dengan ketidak pastian dan segala kemungkinan yang
unpredictable. Maka pemahaman akan kondisi sosial-politik bangsa Indonesia pada
hari ini adalah mutlak diperlukan berbagai pihak, khususnya kaum intelektual
dalam hal ini tentunya mahasiswa.
Sejarah dengan posisi mahasiswa didalam peran masyarakat
seperti terkemuka diatas, dikenal dua pokok yang selalu tampil mewarnai sejarah
aktivitas selama ini. Pertama ialah sebagai kekuatan koreksi (kontrol) terhadap
penyimpangan yang terjadi didalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, kedua
yaitu sebagai penerus kesadaran masyarakat luas akan problema yang ada dan
menstransformasikan kesadaran itu untuk menerima alternatif perubahan yang
dikemukakan atau didukung oleh mahasiswa itu sendiri, sehingga masyarakat
berubah kearah kemajuan yang progresif.
BERSAMA RAKYAT SATUKAN TEKAD
DEMI PERUBAHAN DAN PEMBEBASAN!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar